Pengendalian Diri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Cucu Surahman MA

Memperhatikan fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, di mana seringnya dikabarkan bentrokan massa, penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, sampai pada kabar kecelakaan kendaraan bermotor, patutlah kita merenung sejenak. Mengapa hal ini bisa terjadi di tengah masyarakat kita? Sudah tidak adakah kontrol diri di dalam pribadi masing-masing bangsa ini?

Mempertanyakan akan pengendalian diri adalah hal yang sangat penting, mengingat hanya dengan ada pengendalian dirilah seseorang akan dapat mengendalikan hati, pikiran, jiwa, dan raganya sehingga ia akan senantiasa berada dalam keselamatan dan kedamaian. Dan sebaliknya, tanpa adanya pengendalian diri maka seseorang akan mudah terjatuh ke dalam segala bentuk kecelakaan dan kehinaan.

Dalam Islam, derajat tertinggi manusia itu muttaqun (orang yang bertakwa). Kata takwa sendiri dalam arti bahasa adalah wiqayah al-nafs (penjagaan diri), yaitu pengendalian diri dari segala hal yang mencelakakan dan menjerumuskan. 

Hal ini tecermin dari satu riwayat yang menceritakan bahwa suatu ketika Khalifah Umar bin Khatab ra bertanya kepada sahabat Ubai Ibnu Ka’ab ra tentang takwa. Maka, berkatalah Ubai kepada Umar, “Pernahkah engkau melewati jalan yang penuh duri?”

“Ya, Pernah,” jawab Umar.

 

Ubai bertanya lagi, “Apa yang Anda lakukan saat itu?” 

Umar menjawab, “Saya akan berjalan dengan sungguh-sungguh dan berhati-hati sekali agar tak terkena duri itu.” 

Lalu Ubai berkata, “Itulah takwa,” (Riwayat Ibn Katsir).

Allah SWT memang memberikan dua potensi kepada jiwa manusia, yaitu potensi untuk berbuat baik dan potensi untuk berbuat jahat. Orang yang beruntung dan selamat adalah orang yang mampu menyucikan dirinya dari potensi jahat tersebut. Dalam arti lain, orang tersebut mampu mengendalikan dan menjaga dirinya dari segala macam godaan dan tipu daya setan.

Sebaliknya, sungguh merugi dan celakalah orang yang tidak bisa melepaskan diri dari potensi buruknya dan justru malah mengotorinya dengan berbagai macam dosa dan maksiat. Allah SWT berfirman, “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS al-Syams: 7-10).

Bentuk-bentuk kejadian yang disebutkan di atas adalah gambaran dari tidak adanya pengendalian diri dari para pelakunya. Seseorang tidak mungkin akan tega menganiaya, memperkosa, atau membunuh orang lain, apa pun alasannya, kalau dia masih bisa mengendalikan dirinya. Dan, ingatlah menahan amarah, memaafkan orang lain, dan berbuat kebaikan di muka bumi adalah ciri orang yang bertakwa dan imbalannya adalah ampunan dan surga-Nya (QS Ali Imran: 133-134).

Redaktur: Heri Ruslan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *